OPINI
MENCEGAH KONFLIK AGAMA PASCA-PILPRES
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah
menciptakan sejarah baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terpilihnya
pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil
Presiden menjadi kemenangan rakyat.
Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun
2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2 itu memenangkan
Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau sebanyak
53,15 persen dari suara sah nasional. Terpaut tipis dari pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Radjasa yang menduliang 62.576.444 suara (46,85 persen).
Kemenangan Jokowi kemudian dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
yang menolak gugatan sengketa Pilpres uang dilayangkan kubu Prabowo Subianto,
21 Agustus 2014.
Terlepas dari relevan atau tidaknya isu agama digunakan dalam Pilpres 2014,
setidaknya isu itu telah menjadi bagian strategi pemenangan oleh tim sukses
kedua kubu. Alasannya, isu agama bagi sebagian masyarakat merupakan hal yang
sangat sensitif dan tidak membuka ruang negosiasi mencakup masalah keyakinan.
Singkat kata, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya pemimpin yang
berkeyakinan sama dengan mereka. Bahkan, tidak jarang isu itu menjadi lebih
spesifik berkenaan dengan sejauh mana spiritualitas dan relijiusitas, atau
aliran apa yang dianut oleh capres dan cawapres yang bertarung.
Konflik Antaragama
Beberapa konflik agama yang pernah terjadi di Indonesia antara lain konflik di
Ambon, Maluku Utara dan Poso. Ketiga konflik itu terjadi pada akhir rezim
Soeharto dan memasuki era reformasi yaitu pada tahun 1999 dan 2000 (Panggabean
& Fauzi, 2014). Tanpa bermaksud membongkar luka lama, ada persoalan penting
yang harus diingat yaitu munculnya bahaya laten dan bom waktu atas
konflik-konflik agama yang terjadi sebelumnya.
Latar belakang konflik di tiga daerah itu berhubungan Suku, Agama, Ras dan
Antargolongan (SARA) dan tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah kepentingan
politik. Dalam analisis sederhana, setiap masa transisi pemerintahan atau
pergantian rezim lazim terjadi gesekan sosial, baik laten maupun nyata dengan
berbagai macam motif, termasuk isu-isu provokatif yang mengatasnamakan
kepentingan agama.
Sekadar mengingatkan, pertikaian di Ambon, Maluku Utara dan Poso menjadi
gambaran riil konflik pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi. Konflik
SARA lainnya terjadi berkaitan dengan pendirian tempat ibadah di mana agama
mayoritas masyarakat di daerah tertentu menolak pendirian tempat ibadah agama
lain. Seperti penolakan pendirian tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor Barat, Kota
Bogor karena masyarakat di daerah itu kebanyakan beragama Islam.
Ketegangan antara masyarakat dan pengelola GKI Yasmin terjadi sejak tahun 2002.
Kemudian, penolakan pendirian tempat ibadah Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) Filadelfia di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten
Bekasi. Ketegangan itu terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang.
Kasus lain, pendirian tempat Masjid Nur Musafir, di Batuplat, Kupang juga
terjadi di mana masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Ketegangan antara
pengelola Masjid Nur Musafir dan masyarakat sekitarnya terjadi tiga kali yaitu
tahun 2003, 2008, dan 2012, di mana terdapat eskalasi ketegangannya. Kejadian
serupa di Dusun Wolobheto, Desa Wolokoli, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende
pada tahun 2011 yaitu penolakan pendirian Masjid Abdurrahman.
Ketegangan di empat daerah itu masih terasa hingga sekarang, khususnya pada
saat perayaan hari besar agama masing-masing dan momen pascapilpres ini tetapi
tidak sampai menimbulkan kekerasan. Inilah yang seharusnya menjadi kewaspadaan
semua pihak supaya tidak terjadi ketegangan, bahkan kekerasan yang disebabkan
oleh provokator yang tidak bertanggung jawab
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah menciptakan sejarah baru dalam
kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terpilihnya pasangan Joko Widodo
(Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menjadi
kemenangan rakyat.
Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden Nomor urut 2 itu memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan
suara sebanyak 70.997.833 suara atau sebanyak 53,15 persen dari suara
sah nasional. Terpaut tipis dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa
yang menduliang 62.576.444 suara (46,85 persen). Kemenangan Jokowi
kemudian dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak
gugatan sengketa Pilpres uang dilayangkan kubu Prabowo Subianto, 21
Agustus 2014.
Terlepas dari relevan atau tidaknya isu agama
digunakan dalam Pilpres 2014, setidaknya isu itu telah menjadi bagian
strategi pemenangan oleh tim sukses kedua kubu. Alasannya, isu agama
bagi sebagian masyarakat merupakan hal yang sangat sensitif dan tidak
membuka ruang negosiasi mencakup masalah keyakinan. Singkat kata,
sebagian besar masyarakat menginginkan adanya pemimpin yang berkeyakinan
sama dengan mereka. Bahkan, tidak jarang isu itu menjadi lebih spesifik
berkenaan dengan sejauh mana spiritualitas dan relijiusitas, atau
aliran apa yang dianut oleh capres dan cawapres yang bertarung.
Konflik Antaragama
Beberapa
konflik agama yang pernah terjadi di Indonesia antara lain konflik di
Ambon, Maluku Utara dan Poso. Ketiga konflik itu terjadi pada akhir
rezim Soeharto dan memasuki era reformasi yaitu pada tahun 1999 dan 2000
(Panggabean & Fauzi, 2014). Tanpa bermaksud membongkar luka lama,
ada persoalan penting yang harus diingat yaitu munculnya bahaya laten
dan bom waktu atas konflik-konflik agama yang terjadi sebelumnya.
Latar
belakang konflik di tiga daerah itu berhubungan Suku, Agama, Ras dan
Antargolongan (SARA) dan tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah
kepentingan politik. Dalam analisis sederhana, setiap masa transisi
pemerintahan atau pergantian rezim lazim terjadi gesekan sosial, baik
laten maupun nyata dengan berbagai macam motif, termasuk isu-isu
provokatif yang mengatasnamakan kepentingan agama.
Sekadar
mengingatkan, pertikaian di Ambon, Maluku Utara dan Poso menjadi
gambaran riil konflik pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi.
Konflik SARA lainnya terjadi berkaitan dengan pendirian tempat ibadah di
mana agama mayoritas masyarakat di daerah tertentu menolak pendirian
tempat ibadah agama lain. Seperti penolakan pendirian tempat ibadah GKI
Yasmin di Bogor Barat, Kota Bogor karena masyarakat di daerah itu
kebanyakan beragama Islam.
Ketegangan antara masyarakat dan
pengelola GKI Yasmin terjadi sejak tahun 2002. Kemudian, penolakan
pendirian tempat ibadah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia
di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi.
Ketegangan itu terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang.
Kasus
lain, pendirian tempat Masjid Nur Musafir, di Batuplat, Kupang juga
terjadi di mana masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Ketegangan
antara pengelola Masjid Nur Musafir dan masyarakat sekitarnya terjadi
tiga kali yaitu tahun 2003, 2008, dan 2012, di mana terdapat eskalasi
ketegangannya. Kejadian serupa di Dusun Wolobheto, Desa Wolokoli,
Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende pada tahun 2011 yaitu penolakan
pendirian Masjid Abdurrahman.
Ketegangan di empat daerah itu
masih terasa hingga sekarang, khususnya pada saat perayaan hari besar
agama masing-masing dan momen pascapilpres ini tetapi tidak sampai
menimbulkan kekerasan. Inilah yang seharusnya menjadi kewaspadaan semua
pihak supaya tidak terjadi ketegangan, bahkan kekerasan yang disebabkan
oleh provokator yang tidak bertanggung jawab - See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/09/25/58/1044284/mencegah-konflik-agama-pasca-pilpres#sthash.Qkjva0MN.dpuf
Mencegah Konflik Agama Pasca-Pilpres
Mencegah Konflik Agama Pasca-Pilpres