Jumat, 26 September 2014

TUGAS OPINI

OPINI
MENCEGAH KONFLIK AGAMA PASCA-PILPRES


Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah menciptakan sejarah baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menjadi kemenangan rakyat.

Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2 itu memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau sebanyak 53,15 persen dari suara sah nasional. Terpaut tipis dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang menduliang 62.576.444 suara (46,85 persen). Kemenangan Jokowi kemudian dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan sengketa Pilpres uang dilayangkan kubu Prabowo Subianto, 21 Agustus 2014.

Terlepas dari relevan atau tidaknya isu agama digunakan dalam Pilpres 2014, setidaknya isu itu telah menjadi bagian strategi pemenangan oleh tim sukses kedua kubu. Alasannya, isu agama bagi sebagian masyarakat merupakan hal yang sangat sensitif dan tidak membuka ruang negosiasi mencakup masalah keyakinan. Singkat kata, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya pemimpin yang berkeyakinan sama dengan mereka. Bahkan, tidak jarang isu itu menjadi lebih spesifik berkenaan dengan sejauh mana spiritualitas dan relijiusitas, atau aliran apa yang dianut oleh capres dan cawapres yang bertarung.

Konflik Antaragama

Beberapa konflik agama yang pernah terjadi di Indonesia antara lain konflik di Ambon, Maluku Utara dan Poso. Ketiga konflik itu terjadi pada akhir rezim Soeharto dan memasuki era reformasi yaitu pada tahun 1999 dan 2000 (Panggabean & Fauzi, 2014). Tanpa bermaksud membongkar luka lama, ada persoalan penting yang harus diingat yaitu munculnya bahaya laten dan bom waktu atas konflik-konflik agama yang terjadi sebelumnya.

Latar belakang konflik di tiga daerah itu berhubungan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dan tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah kepentingan politik. Dalam analisis sederhana, setiap masa transisi pemerintahan atau pergantian rezim lazim terjadi gesekan sosial, baik laten maupun nyata dengan berbagai macam motif, termasuk isu-isu provokatif yang mengatasnamakan kepentingan agama.

Sekadar mengingatkan, pertikaian di Ambon, Maluku Utara dan Poso menjadi gambaran riil konflik pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi. Konflik SARA lainnya terjadi berkaitan dengan pendirian tempat ibadah di mana agama mayoritas masyarakat di daerah tertentu menolak pendirian tempat ibadah agama lain. Seperti penolakan pendirian tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor Barat, Kota Bogor karena masyarakat di daerah itu kebanyakan beragama Islam.

Ketegangan antara masyarakat dan pengelola GKI Yasmin terjadi sejak tahun 2002. Kemudian, penolakan pendirian tempat ibadah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Ketegangan itu terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Kasus lain, pendirian tempat Masjid Nur Musafir, di Batuplat, Kupang juga terjadi di mana masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Ketegangan antara pengelola Masjid Nur Musafir dan masyarakat sekitarnya terjadi tiga kali yaitu tahun 2003, 2008, dan 2012, di mana terdapat eskalasi ketegangannya. Kejadian serupa di Dusun Wolobheto, Desa Wolokoli, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende pada tahun 2011 yaitu penolakan pendirian Masjid Abdurrahman.

Ketegangan di empat daerah itu masih terasa hingga sekarang, khususnya pada saat perayaan hari besar agama masing-masing dan momen pascapilpres ini tetapi tidak sampai menimbulkan kekerasan. Inilah yang seharusnya menjadi kewaspadaan semua pihak supaya tidak terjadi ketegangan, bahkan kekerasan yang disebabkan oleh provokator yang tidak bertanggung jawab


ALAMAT : okezone



Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah menciptakan sejarah baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menjadi kemenangan rakyat.

Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2 itu memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau sebanyak 53,15 persen dari suara sah nasional. Terpaut tipis dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang menduliang 62.576.444 suara (46,85 persen). Kemenangan Jokowi kemudian dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan sengketa Pilpres uang dilayangkan kubu Prabowo Subianto, 21 Agustus 2014.

Terlepas dari relevan atau tidaknya isu agama digunakan dalam Pilpres 2014, setidaknya isu itu telah menjadi bagian strategi pemenangan oleh tim sukses kedua kubu. Alasannya, isu agama bagi sebagian masyarakat merupakan hal yang sangat sensitif dan tidak membuka ruang negosiasi mencakup masalah keyakinan. Singkat kata, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya pemimpin yang berkeyakinan sama dengan mereka. Bahkan, tidak jarang isu itu menjadi lebih spesifik berkenaan dengan sejauh mana spiritualitas dan relijiusitas, atau aliran apa yang dianut oleh capres dan cawapres yang bertarung.

Konflik Antaragama
Beberapa konflik agama yang pernah terjadi di Indonesia antara lain konflik di Ambon, Maluku Utara dan Poso. Ketiga konflik itu terjadi pada akhir rezim Soeharto dan memasuki era reformasi yaitu pada tahun 1999 dan 2000 (Panggabean & Fauzi, 2014). Tanpa bermaksud membongkar luka lama, ada persoalan penting yang harus diingat yaitu munculnya bahaya laten dan bom waktu atas konflik-konflik agama yang terjadi sebelumnya.

Latar belakang konflik di tiga daerah itu berhubungan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dan tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah kepentingan politik. Dalam analisis sederhana, setiap masa transisi pemerintahan atau pergantian rezim lazim terjadi gesekan sosial, baik laten maupun nyata dengan berbagai macam motif, termasuk isu-isu provokatif yang mengatasnamakan kepentingan agama.

Sekadar mengingatkan, pertikaian di Ambon, Maluku Utara dan Poso menjadi gambaran riil konflik pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi. Konflik SARA lainnya terjadi berkaitan dengan pendirian tempat ibadah di mana agama mayoritas masyarakat di daerah tertentu menolak pendirian tempat ibadah agama lain. Seperti penolakan pendirian tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor Barat, Kota Bogor karena masyarakat di daerah itu kebanyakan beragama Islam.

Ketegangan antara masyarakat dan pengelola GKI Yasmin terjadi sejak tahun 2002. Kemudian, penolakan pendirian tempat ibadah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Ketegangan itu terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Kasus lain, pendirian tempat Masjid Nur Musafir, di Batuplat, Kupang juga terjadi di mana masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Ketegangan antara pengelola Masjid Nur Musafir dan masyarakat sekitarnya terjadi tiga kali yaitu tahun 2003, 2008, dan 2012, di mana terdapat eskalasi ketegangannya. Kejadian serupa di Dusun Wolobheto, Desa Wolokoli, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende pada tahun 2011 yaitu penolakan pendirian Masjid Abdurrahman.

Ketegangan di empat daerah itu masih terasa hingga sekarang, khususnya pada saat perayaan hari besar agama masing-masing dan momen pascapilpres ini tetapi tidak sampai menimbulkan kekerasan. Inilah yang seharusnya menjadi kewaspadaan semua pihak supaya tidak terjadi ketegangan, bahkan kekerasan yang disebabkan oleh provokator yang tidak bertanggung jawab
- See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/09/25/58/1044284/mencegah-konflik-agama-pasca-pilpres#sthash.Qkjva0MN.dpuf
Mencegah Konflik Agama Pasca-Pilpres
Mencegah Konflik Agama Pasca-Pilpres

HARDNEWS DAN SOFTNEWS


  • HARD NEWS 
JOKOWI BISA VETO PILKADA TAK LANGSUNG
 Jokowi Bisa Veto Pilkada Tak Langsung
MEDAN - Setelah melewati persidangan panjang, DPR RI akhirnya meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Dalam RUU tersebut DPR menyepakati pasal yang sangat krusial, yakni perubahan mekanisme pilkada, dari pemilihan langsung oleh rakyat, menjadi pemilihan lewat DPRD. Hanya saja keputusan tersebut belum final. Karena berdasarkan ketentuan perundang-undangan, RUU harus mendapatkan persetujuan dari Presiden.
"Paripurna di DPR kemarin masih pendahuluan. Persoalan Pilkada melalui DPRD itu, sekarang ranahnya di Presiden. Jadi belum final. Kalau sikap Partai Demokrat yang walk out pada paripurna kemarin merupakan representasi dari keputusan SBY, maka hampir pasti Presiden SBY tidak akan menandatangani pengesahan RUU tersebut," jelas pengamat politik, Fakhrudin Pohan, Jumat (26/9/2014) malam.

Fakhrudin menjelaskan, jika Presiden SBY tidak menandatangani RUU tersebut dalam waktu dekat, secara otomatis kewenangan memberikan persetujuan akan beralih ke Joko Widodo selaku presiden terpilih. Jokowi tentunya memiliki kepentingan politik berbeda dari keputusan DPR.

"Waktu pengesahan RUU itu oleh Presiden 30 hari. Sementara, sisa masa jabatan Presiden SBY kurang dari 30 hari. Jadi kalau tidak ditandangani SBY, Jokowi bisa memveto RUU itu. Atau setidaknya Jokowi bisa meminta agar RUU itu dikaji ulang," terangnya.

Fakhrudin juga mengingatkan, jika dalam posisi saat ini, baik SBY maupun Jokowi sangat mungkin melakukan manuver politik. Keduanya sangat mungkin membuat konspirasi agar RUU tersebut akhirnya batal disahkan menjadi undang-undang.

"Ini yang berbahaya. Kita khawatirnya ada konspirasi antara Presiden SBY dan Jokowi. Kita tahu bahwa keduanya memiliki kepentingan politik yang besar saat ini. Bisa saja ada konspirasi yang mereka susun. Apalagi komunikasi SBY dan Jokowi belakangan sangat intens seiring transisi pemerintahan. Itu belum lagi kalau konstalasi politik di Koalisi Merah Putih yang getol meloloskan RUU itu, berubah. Jadi ini benar-benar belum final," jelasnya.


  • SOFT NEWS
BEGINI KIRA KIRA TAMPILAN LAMPU DIMASA DEPAN

Begini Kira-Kira Tampilan Lampu di Masa Depan
Begini Kira-Kira Tampilan Lampu di Masa Depan (Foto : Huffingtonpost)
JAKARTA - Pernahkah Anda membayangkan bagaimana tampilan lampu pada masa depan? Saat ini, lampu pada umumnya di desain dalam bentuk tabung, ataupun bola lengkap dengan saklarnya.

Beberapa desainer ini mencoba untuk menerka-nerka bagaimana desain lampu pada 20-30 tahun mendatang. Bentuknya pun unik-unik. Ada yang di desain melawan gravitasi, hingga berbentuk dadu yang ketika dibuka bisa menyala. Seperti apa uniknya? Berikut penjelasannya yang dikutip dari Huffintonpost, Sabtu (27/9/2014).

Mengikuti suasan hati si penghuni rumah
Lampu ini didesain dapat mengikuti suasana hati penghuni rumah. Lampu ini dibuat oleh perusahaan lampu Stack Lightning. Lampu ini dapat menyala sendiri begitu Anda memasuki ruangan, dan juga mati secara otomatis begitu Anda meninggalkan ruangan.

Menentang gravitasi
Lampu ini didesain seolah-olah seperti melawan gravitasi. Menggunakan bohlam lampu biasa, kabel pada lampu justru berada di lantai, dan bohlam lampu berada di atasnya, sehingga lampu tersebut terlihat melawan gravitasi. Lampu ini merupakan bikinan perusahaan Design Home Stockholm.

Berbentuk abstrak
Lampu ini didesain tidak ada bentuk khusus. Lampu bikinan perusahaan Asteroid Floor Lamp ini berbentuk geodesik. Uniknya, tidak digantung di dinding, lampu ini justru diletakkan di lantai. Sehingga, tidak hanya berfungsi sebagai penerangan, lampu ini juga bisa digunakan sebagai aksesori.

Berbentuk dadu

Lampu ini berbentuk seperti dadu yang bisa dibuka. Ketika dibuka, sinar akan memancar dari setiap sisi dadu. Lampu ini bernama Cuboluce Bedside Lamp.

Dilengkapi pengontrol suara
Sistem Wi-fi atau tepuk tangan untuk mematikan lampu dinilai tidak efektif. Sebuah lampu yang bernama The Vocca kini di desain lebih praktis, yakni hanya bisa menyala dan mati jika mendengar perintah suara dari si penghuni rumah. (wdi)

Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah menciptakan sejarah baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menjadi kemenangan rakyat.

Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2 itu memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau sebanyak 53,15 persen dari suara sah nasional. Terpaut tipis dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang menduliang 62.576.444 suara (46,85 persen). Kemenangan Jokowi kemudian dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan sengketa Pilpres uang dilayangkan kubu Prabowo Subianto, 21 Agustus 2014.

Terlepas dari relevan atau tidaknya isu agama digunakan dalam Pilpres 2014, setidaknya isu itu telah menjadi bagian strategi pemenangan oleh tim sukses kedua kubu. Alasannya, isu agama bagi sebagian masyarakat merupakan hal yang sangat sensitif dan tidak membuka ruang negosiasi mencakup masalah keyakinan. Singkat kata, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya pemimpin yang berkeyakinan sama dengan mereka. Bahkan, tidak jarang isu itu menjadi lebih spesifik berkenaan dengan sejauh mana spiritualitas dan relijiusitas, atau aliran apa yang dianut oleh capres dan cawapres yang bertarung.

Konflik Antaragama
Beberapa konflik agama yang pernah terjadi di Indonesia antara lain konflik di Ambon, Maluku Utara dan Poso. Ketiga konflik itu terjadi pada akhir rezim Soeharto dan memasuki era reformasi yaitu pada tahun 1999 dan 2000 (Panggabean & Fauzi, 2014). Tanpa bermaksud membongkar luka lama, ada persoalan penting yang harus diingat yaitu munculnya bahaya laten dan bom waktu atas konflik-konflik agama yang terjadi sebelumnya.

Latar belakang konflik di tiga daerah itu berhubungan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dan tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah kepentingan politik. Dalam analisis sederhana, setiap masa transisi pemerintahan atau pergantian rezim lazim terjadi gesekan sosial, baik laten maupun nyata dengan berbagai macam motif, termasuk isu-isu provokatif yang mengatasnamakan kepentingan agama.

Sekadar mengingatkan, pertikaian di Ambon, Maluku Utara dan Poso menjadi gambaran riil konflik pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi. Konflik SARA lainnya terjadi berkaitan dengan pendirian tempat ibadah di mana agama mayoritas masyarakat di daerah tertentu menolak pendirian tempat ibadah agama lain. Seperti penolakan pendirian tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor Barat, Kota Bogor karena masyarakat di daerah itu kebanyakan beragama Islam.

Ketegangan antara masyarakat dan pengelola GKI Yasmin terjadi sejak tahun 2002. Kemudian, penolakan pendirian tempat ibadah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Ketegangan itu terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Kasus lain, pendirian tempat Masjid Nur Musafir, di Batuplat, Kupang juga terjadi di mana masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Ketegangan antara pengelola Masjid Nur Musafir dan masyarakat sekitarnya terjadi tiga kali yaitu tahun 2003, 2008, dan 2012, di mana terdapat eskalasi ketegangannya. Kejadian serupa di Dusun Wolobheto, Desa Wolokoli, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende pada tahun 2011 yaitu penolakan pendirian Masjid Abdurrahman.

Ketegangan di empat daerah itu masih terasa hingga sekarang, khususnya pada saat perayaan hari besar agama masing-masing dan momen pascapilpres ini tetapi tidak sampai menimbulkan kekerasan. Inilah yang seharusnya menjadi kewaspadaan semua pihak supaya tidak terjadi ketegangan, bahkan kekerasan yang disebabkan oleh provokator yang tidak bertanggung jawab. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/09/25/58/1044284/mencegah-konflik-agama-pasca-pilpres#sthash.Z9fzJjQo.dpuf



Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah menciptakan sejarah baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menjadi kemenangan rakyat.

Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2 itu memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau sebanyak 53,15 persen dari suara sah nasional. Terpaut tipis dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang menduliang 62.576.444 suara (46,85 persen). Kemenangan Jokowi kemudian dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan sengketa Pilpres uang dilayangkan kubu Prabowo Subianto, 21 Agustus 2014.

Terlepas dari relevan atau tidaknya isu agama digunakan dalam Pilpres 2014, setidaknya isu itu telah menjadi bagian strategi pemenangan oleh tim sukses kedua kubu. Alasannya, isu agama bagi sebagian masyarakat merupakan hal yang sangat sensitif dan tidak membuka ruang negosiasi mencakup masalah keyakinan. Singkat kata, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya pemimpin yang berkeyakinan sama dengan mereka. Bahkan, tidak jarang isu itu menjadi lebih spesifik berkenaan dengan sejauh mana spiritualitas dan relijiusitas, atau aliran apa yang dianut oleh capres dan cawapres yang bertarung.

Konflik Antaragama
Beberapa konflik agama yang pernah terjadi di Indonesia antara lain konflik di Ambon, Maluku Utara dan Poso. Ketiga konflik itu terjadi pada akhir rezim Soeharto dan memasuki era reformasi yaitu pada tahun 1999 dan 2000 (Panggabean & Fauzi, 2014). Tanpa bermaksud membongkar luka lama, ada persoalan penting yang harus diingat yaitu munculnya bahaya laten dan bom waktu atas konflik-konflik agama yang terjadi sebelumnya.

Latar belakang konflik di tiga daerah itu berhubungan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dan tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah kepentingan politik. Dalam analisis sederhana, setiap masa transisi pemerintahan atau pergantian rezim lazim terjadi gesekan sosial, baik laten maupun nyata dengan berbagai macam motif, termasuk isu-isu provokatif yang mengatasnamakan kepentingan agama.

Sekadar mengingatkan, pertikaian di Ambon, Maluku Utara dan Poso menjadi gambaran riil konflik pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi. Konflik SARA lainnya terjadi berkaitan dengan pendirian tempat ibadah di mana agama mayoritas masyarakat di daerah tertentu menolak pendirian tempat ibadah agama lain. Seperti penolakan pendirian tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor Barat, Kota Bogor karena masyarakat di daerah itu kebanyakan beragama Islam.

Ketegangan antara masyarakat dan pengelola GKI Yasmin terjadi sejak tahun 2002. Kemudian, penolakan pendirian tempat ibadah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Ketegangan itu terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Kasus lain, pendirian tempat Masjid Nur Musafir, di Batuplat, Kupang juga terjadi di mana masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Ketegangan antara pengelola Masjid Nur Musafir dan masyarakat sekitarnya terjadi tiga kali yaitu tahun 2003, 2008, dan 2012, di mana terdapat eskalasi ketegangannya. Kejadian serupa di Dusun Wolobheto, Desa Wolokoli, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende pada tahun 2011 yaitu penolakan pendirian Masjid Abdurrahman.

Ketegangan di empat daerah itu masih terasa hingga sekarang, khususnya pada saat perayaan hari besar agama masing-masing dan momen pascapilpres ini tetapi tidak sampai menimbulkan kekerasan. Inilah yang seharusnya menjadi kewaspadaan semua pihak supaya tidak terjadi ketegangan, bahkan kekerasan yang disebabkan oleh provokator yang tidak bertanggung jawab. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/09/25/58/1044284/mencegah-konflik-agama-pasca-pilpres#sthash.Z9fzJjQo.dpuf
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah menciptakan sejarah baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menjadi kemenangan rakyat.

Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2 itu memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau sebanyak 53,15 persen dari suara sah nasional. Terpaut tipis dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang menduliang 62.576.444 suara (46,85 persen). Kemenangan Jokowi kemudian dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan sengketa Pilpres uang dilayangkan kubu Prabowo Subianto, 21 Agustus 2014.

Terlepas dari relevan atau tidaknya isu agama digunakan dalam Pilpres 2014, setidaknya isu itu telah menjadi bagian strategi pemenangan oleh tim sukses kedua kubu. Alasannya, isu agama bagi sebagian masyarakat merupakan hal yang sangat sensitif dan tidak membuka ruang negosiasi mencakup masalah keyakinan. Singkat kata, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya pemimpin yang berkeyakinan sama dengan mereka. Bahkan, tidak jarang isu itu menjadi lebih spesifik berkenaan dengan sejauh mana spiritualitas dan relijiusitas, atau aliran apa yang dianut oleh capres dan cawapres yang bertarung.

Konflik Antaragama
Beberapa konflik agama yang pernah terjadi di Indonesia antara lain konflik di Ambon, Maluku Utara dan Poso. Ketiga konflik itu terjadi pada akhir rezim Soeharto dan memasuki era reformasi yaitu pada tahun 1999 dan 2000 (Panggabean & Fauzi, 2014). Tanpa bermaksud membongkar luka lama, ada persoalan penting yang harus diingat yaitu munculnya bahaya laten dan bom waktu atas konflik-konflik agama yang terjadi sebelumnya.

Latar belakang konflik di tiga daerah itu berhubungan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dan tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah kepentingan politik. Dalam analisis sederhana, setiap masa transisi pemerintahan atau pergantian rezim lazim terjadi gesekan sosial, baik laten maupun nyata dengan berbagai macam motif, termasuk isu-isu provokatif yang mengatasnamakan kepentingan agama.

Sekadar mengingatkan, pertikaian di Ambon, Maluku Utara dan Poso menjadi gambaran riil konflik pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi. Konflik SARA lainnya terjadi berkaitan dengan pendirian tempat ibadah di mana agama mayoritas masyarakat di daerah tertentu menolak pendirian tempat ibadah agama lain. Seperti penolakan pendirian tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor Barat, Kota Bogor karena masyarakat di daerah itu kebanyakan beragama Islam.

Ketegangan antara masyarakat dan pengelola GKI Yasmin terjadi sejak tahun 2002. Kemudian, penolakan pendirian tempat ibadah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Ketegangan itu terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Kasus lain, pendirian tempat Masjid Nur Musafir, di Batuplat, Kupang juga terjadi di mana masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Ketegangan antara pengelola Masjid Nur Musafir dan masyarakat sekitarnya terjadi tiga kali yaitu tahun 2003, 2008, dan 2012, di mana terdapat eskalasi ketegangannya. Kejadian serupa di Dusun Wolobheto, Desa Wolokoli, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende pada tahun 2011 yaitu penolakan pendirian Masjid Abdurrahman.

  1. Ketegangan di empat daerah itu masih terasa hingga sekarang, khususnya pada saat perayaan hari besar agama masing-masing dan momen pascapilpres ini tetapi tidak sampai menimbulkan kekerasan. Inilah yang seharusnya menjadi kewaspadaan semua pihak supaya tidak terjadi ketegangan, bahkan kekerasan yang disebabkan oleh provokator yang tidak bertanggung jawab. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/09/25/58/1044284/mencegah-konflik-agama-pasca-pilpres#sthash.Z9fzJjQo.dpuf
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah menciptakan sejarah baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menjadi kemenangan rakyat.

Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2 itu memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau sebanyak 53,15 persen dari suara sah nasional. Terpaut tipis dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang menduliang 62.576.444 suara (46,85 persen). Kemenangan Jokowi kemudian dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2 itu memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau sebanyak 53,15 persen dari suara sah nasional. Terpaut tipis dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang menduliang 62.576.444 suara (46,85 persen). Kemenangan Jokowi kemudian dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan sengketa Pilpres uang dilayangkan kubu Prabowo Subianto, 21 Agustus 2014.

Terlepas dari relevan atau tidaknya isu agama digunakan dalam Pilpres 2014, setidaknya isu itu telah menjadi bagian strategi pemenangan oleh tim sukses kedua kubu. Alasannya, isu agama bagi sebagian masyarakat merupakan hal yang sangat sensitif dan tidak membuka ruang negosiasi mencakup masalah keyakinan. Singkat kata, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya pemimpin yang berkeyakinan sama dengan mereka. Bahkan, tidak jarang isu itu menjadi lebih spesifik berkenaan dengan sejauh mana spiritualitas dan relijiusitas, atau aliran apa yang dianut oleh capres dan cawapres yang bertarung.

Konflik Antaragama
Beberapa konflik agama yang pernah terjadi di Indonesia antara lain konflik di Ambon, Maluku Utara dan Poso. Ketiga konflik itu terjadi pada akhir rezim Soeharto dan memasuki era reformasi yaitu pada tahun 1999 dan 2000 (Panggabean & Fauzi, 2014). Tanpa bermaksud membongkar luka lama, ada persoalan penting yang harus diingat yaitu munculnya bahaya laten dan bom waktu atas konflik-konflik agama yang terjadi sebelumnya.

Latar belakang konflik di tiga daerah itu berhubungan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dan tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah kepentingan politik. Dalam analisis sederhana, setiap masa transisi pemerintahan atau pergantian rezim lazim terjadi gesekan sosial, baik laten maupun nyata dengan berbagai macam motif, termasuk isu-isu provokatif yang mengatasnamakan kepentingan agama.

Sekadar mengingatkan, pertikaian di Ambon, Maluku Utara dan Poso menjadi gambaran riil konflik pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi. Konflik SARA lainnya terjadi berkaitan dengan pendirian tempat ibadah di mana agama mayoritas masyarakat di daerah tertentu menolak pendirian tempat ibadah agama lain. Seperti penolakan pendirian tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor Barat, Kota Bogor karena masyarakat di daerah itu kebanyakan beragama Islam.

Ketegangan antara masyarakat dan pengelola GKI Yasmin terjadi sejak tahun 2002. Kemudian, penolakan pendirian tempat ibadah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Ketegangan itu terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Kasus lain, pendirian tempat Masjid Nur Musafir, di Batuplat, Kupang juga terjadi di mana masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Ketegangan antara pengelola Masjid Nur Musafir dan masyarakat sekitarnya terjadi tiga kali yaitu tahun 2003, 2008, dan 2012, di mana terdapat eskalasi ketegangannya. Kejadian serupa di Dusun Wolobheto, Desa Wolokoli, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende pada tahun 2011 yaitu penolakan pendirian Masjid Abdurrahman.

Ketegangan di empat daerah itu masih terasa hingga sekarang, khususnya pada saat perayaan hari besar agama masing-masing dan momen pascapilpres ini tetapi tidak sampai menimbulkan kekerasan. Inilah yang seharusnya menjadi kewaspadaan semua pihak supaya tidak terjadi ketegangan, bahkan kekerasan yang disebabkan oleh provokator yang tidak bertanggung jawab. - See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/09/25/58/1044284/mencegah-konflik-agama-pasca-pilpres#sthash.Z9fzJjQo.dpuf